Kamis, 20 April 2017

PENGUJIAN KUALITAS BAHAN PAHAN TEPUNG SERBUK GERGAJI

Keterbatasan pakan meenyebabkan daya tampung ternak pada suatu daerah menurun. Oleh karena itu pemanfaatan hasil ikutan industri dalam usaha peternakan perlu di pertimbangkan. Salah satu hasil ikutan industri adalah tepung serbuk gergaji. Pada ternak khususnya ternak ruminansia dapat mencerna bahan pakan dengan kandungan serat kasar tinggi. Kandungan lignin pada tepung serbuk gergaji tergolong tinggi  kandungan lignin suatu bahan berkorelasi negatjf dengan daya cerna sehingga semakin tinggi kadar lignin bahan maka semakin rendah daya cernanya (Ali, 2005). Kandungan tepung serbuk gergaji pada suatu bahan pakan akan mempengaruhi ternak. Penggunaan serbuk gergaji dalam campuran bahan pakan akan mengubah kandungan zat makanan menjadi lebih rendah dan serbuk gergaji umum di gunakan karena mudah didapatkan, lebih murah, tidak berbahaya bagi ternak dan belum banyak dimanfaatkan (Jalaludin, 2005).
Peningkatan konsumsi bahan pakan yang mengandung serbuk gergaji disebabkan karena fraksi serat kasar sangat sulit dicerna sehingga dengan cepat dikeluarkan dari saluran pencernaan unggas dan pemberian bahan pakan dengan kandungan serat kasar yang tinggi dapat menyebabkan laju aliran ransum dalam saluran pencernaan unggas meningkat (Purnama 2006).  Adanya serbuk gergaji kayu pada bahan pakan atau pun dalam ransum sebanyak 7 % atau 13 % pada ayam buras menyebabkan pertambahan berat badan dan berat akhir yang lebih rendah 14,09 % dan 11,78 % jika dibandingkan dengan ayam yang diberikan pakan kontrol (tidak ada serbuk gergaji kayu) sehingga ransum tersebut mengandung serat kasar tinggi yang menyebabkan daya cerna ternak menjadi rendah (Yadnya dan Suci, 2006).  
Biaya pakan yang tinggi dapat ditekan, tetapi perlu adanya usaha-usaha yang efisien dalam pemanfaatan ransum oleh ternak, supaya peningkatan pendapatan dapat dicapai sesuai yang diharapkan. Serbuk gergaji yang umumnya di gunakan sebagai bahan oplosan bahan pakan lain dapat di olah menjadi bahan pakan. Serbuk gergaji rekayasa adalah hasil olahan serbuk gergaji rekayasa yang terdiri dari ransum campuran serbuk gergaji 0,5 kg, tepung jagung kualitas jelek 0,5 kg, gula aren 0,005 kg dan larutan Em4 5 ml (Rp/kg) dan hasil yang diperoleh ialah biaya Rp 41.031,068/hari dan selama satu tahun Rp 14.976.339,82 untuk 60 ekor ternak itik sehingga penggunaan pakan rekayasa serbuk gergaji masih lebih menguntungkan dibandingkan dengan penggunaan pakan non rekayasa yang umumnya digunakan oleh peternak (Otay et. al., 2014).




DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. 2005. Degradasi zat makanan dalam rumen  dari bahan makanan berkadar serat tinggi yang diamoniasi urea. Jurnal Peternakan. 2 (1) : 1 – 6
Jalaluddin, A. 2005. Respon Ayam Broiler Terhadap Teknik Pertumbuhan Kompensasi : 3 Penggantian Sebagian Ransum Realimentasi dengan Jagung Kuning. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Skripsi]
Otay, V. A., M. A.V. Manese., G. D. Lenzun dan  P. O. V. Waleleng. 2014. Analisis biaya ransum penggunaan serbuk gergaji hasil rekayasa sebagai penganti sebagian ransum itik petelur di desa tounelet kecamatan kakas kabupaten minahasa. Jurnal Zootek. 34 (2): 49 - 56
Purnama, R. I. 2006. Respons Ayam Broiler Terhadap Teknik Pertumbuhan Kompensasi : 4. Pemberian Serbuk Gergaji di ikuti Pemberian Silase Ikan Asin-Daun Singkong Pada Periode Realimentasi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. [Skripsi]

Yadnya, T. G. B. Dan S. Sukmawati. 2006. Pengaruh penggantian dedak padi dengan sekam padi atau serbuk gergaji kayu yang disuplementasi dengan probiotik terhadap efisiensi penggunaan ransum dan kadar asam urat darah Itik Bali. Majalah Ilmiah Peternakan. 9 (2) : 1 – 12

IDENTIFIKASI BAHAN PAKAN LIMBAH MINYAK GORENG

1.         Organoleptik
Limbah minyak goreng berbentuk cair pada suhu kamar, limbah minyak penggorengan memiliki bau yang tengik dan rasa yang tidak dikehendaki dalam bahan pangan dan  pemakaian yang berulang pada suhu panas mengakibatkan perubahan warna pada minyak pada umumnya berwarna coklat kehitaman (Aisyah et al., 2010). Pada limbah minyak goreng memiliki bentuk yang cair pada suhu kamar, berwarna coklat tua dan berbau tengik (Purnama et al ., 2014).
2.         Kandungan Nutrisi
Kandungan Nutrisi pada limbah minyak goreng ialah 1,2412 % kadar air, 3,2779 % kadar kotoran, 0,0168 mgO2/100g bilangan peroksida dan memiliki nilai bilangan asam 1,0037 (Surmarlin  et al.,2009).  Jika nilai peroksida dalam bahan pangan atau pakan lebih besar dari meq/kg akan bersifatsangat racundan tidak dapat dimakan sehingga dapat menyebabkan gangguan pada tubuh seperti penyempitan pembuluh darah, gangguan pada tenggorokan dan pemicu penyakit kanker (Aisyah et al., 2010).
3.         Klasifikasi Bahan Pakan
Limbaha minyak goreng termasuk kedalam golongan bahan pakan inkonvensional, karena limbah minyak goreng tidak tahan simpan dalam waktu jangka lama sehingga perlu diolah dengan cara tertentu sehingga dapat digunakan sebagai  bahan pakan (Sinurat, 2012) selain itu pengolahan minyak jelantah (minyak goreng bekas) dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan cara adsorpsi, adsorpsi dipilih karena mudah dalam pelaksanaan dan ekonomis (Rahayu dan Sari, 2014).
4.         Kandungan Antinutrisi
Kandungan anti nutrisi pada limbah minyak goreng ialah minyak goreng bekas mengandung asam lemak bebas (Free Fatty Acid, FFA) yang dihasilkan dari reaksi oksidasi dan hidrolisis pada saat penggorengan. Adanya FFA dalam minyak goreng bekas dapat menyebabkan reaksi samping yaitu reaksi penyabunan (Aziz et al., 2011). Kadar FFA yang tinggi mampu memicu terjadinya reaksi saponifikasi yang akan berakibat pada penurunan kadar FAME (fatty acid methyl ester) yang dihasilkan akan mudah terjadi proses penyabunan (Rhofita, 2015).

DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S., E. Yulianti dan A. G. Fasya. 2010. Penurunan angka peroksida dan asam lemak bebas (FFA) pada proses  bleaching minyak gorengbekas oleh karbon aktif polong buah kelor (Moringa oliefera. L) dengan aktivitas NaCl. Alchemy.  1  (2) : 53 – 103.
Aziz, I., S. Nurbayati dan B. Ulum. 2011. Esterifikasi Asam Lemak Bebas Dari Minyak Goreng Bekas. Valensi. 2 (2) : 384 – 388.
Purnama, P., O. Mistyanti dan R. K. N. Amin. 2014. Pemurnian minyak jelantah dengan zeolit alam: pengaruh massa zeolit dan waktu pengadukan. Jurnal Nasional Teknoogi Terapan.  14 (2) : 17 – 22.
Rahayu, L. H dan S. Purnavita. 2014. Pengaruh suhu dan waktu adsorpsi terhadap sifat kimia-fisika minyak goreng bekas hasil pemurnian menggunakan adsorben ampas pati aren dan bentonit.  10  (2) : 35 - 41.
Rhofita, E. I. 2015. Penurunan kadar free fatty acid (ffa) pada reaksi esterifikasi dalam proses produksi biodiesel : kajian waktu reaksidan temperatur reaksi. Jrnal Imu Teknik – Teknik – Sistem. 11 (1) : 39 – 44.
Sinurat, A. P. 2012. Teknologi pemanfaatan hasil samping industri sawit untuk meningkatkan ketersediaan bahan pakan unggas nasional. Jurnal Inovasi Pertania.   5 (2) : 65 – 78.

Sumarlin, L. O., L. Mukmillah dan R. Istianah. 2009. Analisis Mutu Minyak Jelantah Hasil Peremajaan Menggunakan Tanah Diatomit Alami dan Terkalsinasi. 1 (4) : 171 – 180.

Pengaturan Pakan pada Kuda Laktsi

Kuda (Equus caballus atau Equus jerus Caballus) telah dikenal banyak orang sebagai hewan yang memiliki banyak fungsi, yaitu dapat digunakan sebagai hewan piaraan, hewan olah raga ataupun sebagai sarana transportasi. Hal ini disebabkan karena kuda adalah hewan yang mudah diatur, dikendalikan, dan ramah terhadap mahluk sekitarnya termasuk manusia. Kuda termasuk kedalam golongan ternak herbivora nonruminansia grup colon fermentor. Usus besar adalah tempat untuk mikroba melakukan fermentasi. Pakan yang tahan dari penghancuran di usus kecil, terutama serat, masuk ke usus besar untuk difermentasi oleh mikroba. Prosesnya hampir sama seperti di rumen pada ternak ruminansia.

Bahan pakan alami kuda adalah rumput, dalam hal ini dapat dipenuhi dari grazing. Kuda juga perlu hay dan grain yang berkualotas tinggi karena pakan yang busuk/rusak dan berjamur dapat berakibat fatal pada kuda. Kebutuhan pakan juga bersifat spesifik, tergantung dari pemanfaatan kuda yang bersangkutan. Manajemen pakan kuda berbeda dengan manajemen ternak domestik yang lain. Hal utama yang menyebabkan hal tersebut adalah karena perbedaan anatomi dan fisiologi saluran pencernaan, pencernaan kuda termasuk kedalam pencernaan monogastrik (lambung tunggal). Selain kuda merupakan hewan yang dapat mencerna dan mengfermentasi sisa pakan pada saluran pencernaan bagian belakangnya (sekum).
Menejemen infertilitas pada peternakan kuda sangatlah penting untuk mencegah terjadinya kasus infertil dan untuk meningkatkan keuntungan dalam beternak kuda. Hal- hal yang sangat penting dalam menejemen infertilitas pada kuda antara lain : Pemberian pakan yang berkualitas baik dan cukup, lingkungan serasi yang mendukung perkembangan kuda, tidak menderita penyakit khususnya penyakit menular kelamin, tidak menderita kelainan anatomi alat kelamin yang bersifat menurun, baik sifat yang berasal dari induknya maupun berasal dari pejantannya, tidak menderita gangguan keseimbangan hormon khususnya hormone reproduksi,sehingga cukup kadarnya di dalam darah, sanitasi kandang yang baik,Pemeriksaan alat reproduksi yang rutin untuk mencegah infertilitas, penilaian terhadap prestasi reproduksi induk, deteksi birahi kurang baik, penentuan waktu yang tepat untuk dikawinkan, dan Pengelolaan terhadap uterus pasca melahirkan.­ 

Kebutuhan Nutrisi Pada Sapi Laktasi

Pemberian pakan yang dibagi ke dalam periode-periode berdasarkan pada produksi susu, persentase lemak susu, konsumsi pakan, dan bobot badan. Lihat ilustrasi bentuk dan hubungan kurva produksi susu, % lemak susu, konsumsi BK, dan bobot badan. Didasarkan pada kurva-kurva tersebut, didapatkan 4 fase pemberian pakan sapi laktasi:

1.         Fase laktasi awal (early lactation), 0 – 70 hari setelah beranak.
Selama periode ini, produksi susu meningkat dengan cepat, puncak produksi susu dicapai pada 4-6 minggu setelah beranak. Pada saat ini konsumsi pakan tidak dapat memenuhi kebutuhan zat-zat makanan (khususnya kebutuhan energi) untuk produksi susu, sehingga jaringan-jaringan tubuh dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan. Selama fase ini, penyesuaian sapi terhadap ransum laktasi merupakan cara manajemen yang penting. Setelah beranak, konsentrat perlu ditingkatkan 1-1,5 lb per hari untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang meningkat dan meminimisasi problem tidak mau makan dan asidosis. Namun perlu diingat, proporsi konsentrat yang berlebihan (lebih dari 60% BK ransum) dapat menyebabkan asidosis dan kadar lemak yang rendah. Tingkat serat kasar ransum tidak kurang dari 18% ADF, 28% NDF, dan hijauan harus menyediakan minimal 21% NDF dari total ransum. Bentuk fisik serat kasar juga penting, secara normal ruminasi dan pencernaan akan dipertahankan bila lebih dari 50% hijauan panjangnya 1” atau lebih.
Kandungan protein merupakan hal yang kritis selama laktasi awal. Upaya untuk memenuhi atau melebihi kebutuhan PK selama periode ini membantu konsumsi pakan, dan penggunaan yang efisien dari jaringan tubuh yang dimobilisasi untuk produksi susu. Ransum dengan protein 19% atau lebih diharapkan dapat me-menuhi kebutuhan selama fase ini. Tipe protein (protein yang dapat didegradasi atau tidak didegradasi) dan jumlah protein yang diberikan dipengaruhi oleh kandungan zat makanan ransum, metode pemberian pakan, dan produksi susu. Sebagai patokan, yang diikuti oleh banyak peternak (di luar negeri) memberikan 1 lb bungkil kedele atau protein suplemen yang ekivalen per 10 lb susu, di atas 50 lb susu.
Bila zat makanan yang dibutuhkan saat laktasi awal ini tidak terpenuhi, produksi puncak akan rendah dan dapat menyebabkan ketosis.  Produksi puncak rendah, dapat diduga produksi selama laktasi akan rendah. Bila konsumsi konsentrat terlalu cepat atau terlalu tinggi dapat menyebabkan tidak mau makan, acidosis, dan displaced abomasum. Untuk meningkatkan konsumsi zat-zat makanan: beri hijauan kualitas tinggi, protein ransum cukup, tingkatkan konsumsi konsentrat pada kecepatan yang konstan setelah beranak, tambahkan 1,0-1,5 lb lemak/ekor/hari dalam ransum, pemberian pakan yang konstan, dan minimalkan stress.

2.         Fase konsumsi BK puncak, 10 minggu kedua setelah beranak.
Selama fase ini, sapi diberi makan untuk mempertahankan produksi susu puncak selama mungkin. Konsumsi pakan mendekati maksimal sehingga dapat me-nyediakan zat-zat makanan yang dibutuhkan. Sapi dapat mempertahankan bobot badan atau sedikit meningkat. Konsumsi konsentrat dapat banyak, tetapi jangan melebihi 2,3% bobot badan (dasar BK). Kualitas hijauan tinggi perlu disediakan, minimal konsumsi 1,5% dari bobot badan (berbasis BK) untuk mempertahankan fungsi rumen dan kadar lemak susu yang normal. Untuk meningkatkan konsumsi pakan: beri hijauan dan konsentrat tiga kali atau lebih sehari, beri bahan pakan kualitas tinggi, batasi urea 0,2 lb/sapi/hari, minimalkan stress, gunakan TMR (total mix ration). Problem yang potensial pada fase 2, yaitu: produksi susu turun dengan cepat, kadar lemak rendah, periode  silent heat (berahi tidak terdeteksi), ketosis.

3.         Fase pertengahan – laktasi akhir, 140 – 305 hari setelah beranak.
Fase ini merupakan fase yang termudah untuk me-manage. Selama periode ini produksi susu menurun, sapi dalam keadaan bunting, dan konsumsi zat makanan dengan mudah dapat dipenuhi atau melebihi kebutuhan. Level pem-berian konsentrat harus mencukupi untuk memenuhi kebutuhan produksi, dan mulai mengganti berat badan yang hilang selama laktasi awal. Sapi laktasi membutuhkan pakan yang lebih sedikit untuk mengganti 1 pound jaringan  tubuh daripada sapi kering. Oleh karena itu, lebih efisien mempunyai sapi yang meningkat bobot badannya dekat laktasi akhir daripada selama kering.

4.         Fase periode kering, 45 – 60 hari sebelum beranak.
Fase kering penting. Program pemberian pakan sapi kering yang baik dapat meminimalkan problem metabolik pada atau segera setelah beranak dan meningkatkan produksi susu selama laktasi berikutnya. Sapi kering harus diberi makan terpisah dari sapi laktasi. Ransum harus diformulasikan untuk memenuhi kebutuhannya yang spesifik: maintenance, pertumbuhan foetus, pertambahan bobot badan yang tidak terganti pada fase 3. Konsumsi BK ransum harian sebaiknya mendekati 2% BB; konsumsi hijauan minimal 1% BB; konsumsi konsentrat bergantung kebutuhan, tetapi tidak lebih 1% BB. Setengah dari 1% BB (konsentrat) per hari biasanya cukup untuk program pemberian pakan sapi kering.
Sapi kering jangan terlalu gemuk. Memberikan hijauan kualitas rendah, seperti grass hay, lebih disukai untuk membatasi konsumsi.  Level protein 12% cukup untuk periode kering. Sedikit konsentrat perlu diberikan dalam ransum sapi kering dimulai 2 minggu sebelum beranak, bertujuan: mengubah bakteri rumen dari populasi pencerna hijauan seluruhnya menjadi populasi campuran pencerna hijauan dan konsentrat; meminimalkan stress terhadap perubahan ransum setelah beranak.
Kebutuhan Ca dan P sapi kering harus dipenuhi, tetapi perlu dihindari pemberian yang berlebihan; kadang-kadang ransum yang mengandung lebih dari 0,6% Ca dan 0,4% P meningkatkan kejadian milk fever. Trace mineral, termasuk Se, harus disediakan dalam ransum sapi kering. Juga, jumlah vitamin A, D. dan E yang cukup dalam ransum untuk mengurangi kejadian milk fever, mengurangi retained plasenta, dan meningkatkan daya tahan pedet.
Problem yang potensial selama fase 4 meliputi milk fever, displaced abomasum, retained plasenta, fatty liver syndrome, selera makan rendah, gangguan metabolik lain, dan penyakit yang dikaitkan dengan fat cow syndrome.
Manajemen kunci yang harus diperhatikan selama periode kering, meliputi:
·         observasi kondisi tubuh dan penyesuaian pemberian energi bila diperlukan
·         penuhi kebutuhan zat makanan tetapi cegah pemberian yang berlebihan
·         perubahan ransum 2 minggu sebelum beranak, dengan menggunakan konsentrat dan jumlah kecil zat makanan lain yang digunakan dalam ransum laktasi
·         cegah konsumsi Ca dan P yang berlebihan
·         batasi garam dan mineral sodium lainnya dalam ransum sapi kering untuk mengurangi problem bengkak ambing.
Pada waktu kering, kondisi tubuh sapi 2 atau 3, sedangkan saat beranak 3,5–4,0. Selama 60 hari periode kering, sapi diberi makan untuk mendapatkan PBB: 120 – 200 lbs.



Pemberian pakan pada sapi yang sedang berproduksi atau sedang laktasi harus memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi susu, jika jumlah dan mutu yang diberikan kurang, hasil produksi susu tidak akan maksimal. Pemberian konsentrat agar lebih praktis dianjurkan 50% dari produksi susu, sedangkan untuk hijauan pamberiannya 10% dari BB. Semakin bertambah kedewasaan biologis sapi laktasi, meningkatkan produksi susu yang dihasilkan karena bobot badan, organ tubuh dan ambing semakin berkembang.

Daftar Pustaka
Anggraeni A, Y. Fitriyani, A. Atabany dan I. Komala. 2008. Penampilan produksi susu dan reproduksi sapi friesian-holstein di balai pengembangan perbibitan ternak sapi perah Cikole, Lembang. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner 2008.
N. Ramli, M. Ridla, T. Toharmat, dan L. Abdullah. 2009. Produksi dan kualitas susu sapi perah dengan pakan silase ransum komplit berbasis sumber serat sampah sayuran pilihan. Jurnal Indon.Trop.Anim.Agric. 34 (1): 36 – 41

Syarif, E. K dan B. Harianto. 2011. Buku Pintar Beternak dan Bisnis Sapi Perah.AgroMedia, Jakarta.

DINAMIKA NITROGEN DALAM RUMEN

Proses Pencernaan Senyawa Nitrogen dalam Rumen

Bahan pakan yang diberikan kepada hewan ternak ruminansa terkandung diantaranya karbohidrat, lemak kasar (LK), serat kasar (SK), proein kasar (PK), dan lainnya. Senyawa N bukan protein (NPN/ non protein nitrogen) ikut terhitung dan tidak terpisahkan antara protein murni. Sehingga penghitungan protein dalam pakan selalu menggunakan protein kasar. NPN sebagai contoh adalah urea. erlu digaris bawahi bahwa sumber protein pakan dibagi menjadi Protein murni dan NPN. Protein murni dibagi menjadi Rumen Degradable feed Protein/ RDP dan Rumen Undegradable feed Protein/ RUP (Asih, 2004).
Amonia menjadi sumber nitrogen utama untuk sintesis de novo asam-asam amino bagi mikroba rumen. Amonia (NH3) merupakan produk utama dari proses deaminasi asam amino dan kecukupannya dalam rumen untuk memasok sebagian besar N untuk pertumbuhan mikroba merupakan prioritas utama dalam mengoptimalkan fermentasi hijauan. onsentrasi amonia di dalam rumen ikut menentukan efisiensi sintesa protein mikroba yang pada gilirannya akan mempengaruhi hasil fermentaasi bahan organik pakan. Hasil fermentasi tersebut dapat dilihat sebagai konsentrasi Volatile Fatty Acid (VFA) di dalam cairan rumen. Konsentrasi amonia tersebut antara lain ditentukan oleh tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degradabilitasnya, lamanya makanan berada di dalam rumen dan pH rumen.